Radcliffe Camera and All Souls College, Oxford University. Oxford, UK
Saya akan ceritakan suka-duka saya setelah hidup sebulan di Oxford, dari sebelum berangkat hingga sekarang ini. O iya, saya sudah janji ke teman saya untuk menuliskan pengalaman kuliah 3 bulan pertama di Oxford di blognya, jadi saya tidak akan bahas terlalu banyak mengenai perkuliahan dan suasana di kota Oxford. Disimpan untuk jadi tulisan di blog teman saya 🙂
Sebelum berangkat
Sebelum keberangkatan, saya sangat tidak percaya dengan apa yang terjadi pada saya. Jujur, diterima di kampus ini adalah hal yang sangat sangat tidak terduga. Tidak pernah sekalipun terlintas di pikiran saya mengenai Oxford. Apalagi saya diterima di bidang yang sudah lama saya tinggalkan (tapi tetap suka): Fisika. Bahkan sampai hari pertama di Oxford pun saya masih tidak percaya.
Saat di Indonesia perasaan saya campur aduk. Antara senang, sedih, dan cemas. Senang karena akan lanjut S3 di sini. Sedih karena harus berpisah dengan keluarga dan teman-teman (yang sudah seperti saudara) di Indonesia. Cemas karena saya tidak pede dengan kemampuan Fisika yang sudah lama saya tinggalkan. Yah, tapi semua itu harus dihadapi.
Hari ke 0 dan 1
Setelah hampir tidak jadi berangkat, akhirnya saya sampai juga di Heathrow, London. Di situ kakak dan kakak ipar saya sudah menjemput (many thanks to them!). Saya kemudian diantar ke Victoria untuk ambil bus ke Oxford. Setibanya di Oxford, saya langsung ke College saya (Wolfson College) untuk mengambil kunci kamar+flat dan langsung pergi menuju flat saya. Di flat saya menemui James, teman flat saya dari England. Setelah beristirahat sejenak dan makan sedikit kue dari keluarga saya, saya memutuskan untuk pergi jalan-jalan di kota Oxford. Saya sangat excited saat itu. Saya membayangkan akan tinggal 3-4 tahun bersama orang-orang bule, dengan bahasa yang bukan bahasa pertama saya. Kehidupan saya 2 hari sebelumnya sangat berbeda dengan kehidupan saya hari itu.
Sewaktu jalan-jalan, saya mencari-cari supermarket terdekat. Yah, pengalaman hidup di Perancis 2 bulan, supermarket itu sumber kehidupan kita. Setelah nyasar 1 jam, saya melihat seorang perempuan berjilbab dengan muka yang mirip muka Indonesia. “Orang Indonesia ya?” saya memberanikan diri bertanya. Tebakan saya benar untungnya dan ternyata orang itu adalah Mbak Nana. Saya tanya supermarket terdekat dan akhirnya ketemu juga yang namanya Tesco. Tesco ini semacam Carrefour di Perancis, jualan produk-produk murah (tapi ga murahan).
Setelah pulang jalan-jalan, saya ketemu dengan 2 teman flat saya yang lain. Satunya dari England (keturunan Chinese) dan satunya dari Itali. Mereka menyambut saya dengan baik. Tapi perkenalannya tidak lama karena saya harus buru-buru pergi ke College karena akan ada Dinner dengan College advisor saya.
Karena dress code dinner itu “casual (like you’re going out with your friends)”, jadi saya pakai kemeja dan celana kain. Tadinya bahkan mau pakai kaos saja karena biasanya saya keluar bareng teman pakai kaos. Sampai di tempat makan … Jegerr!! Ternyata semuanya pakai jas! Whattt?? Katanya casual, ternyata formal. Pulang dari dinner saya sempat tidak pede dan sempat cemas dengan kehidupan saya selanjutnya bagaimana. Ini culture shock pertama saya di UK. Sejak saat itu saya tidak pernah keluar dari flat cuma dengan kaos, minimal dengan jaket atau kemeja, sampai saat ini.
Hari 2-3
Hari kedua saya di Oxford adalah hari matrikulasi. Matrikulasi di Oxford adalah semacam pelantikan untuk semua mahasiswa yang baru pertama kali diterima di Oxford. Kami mengenakan pakaian formal khusus: jas, dasi kupu-kupu putih, dan gown. Saat itu saya mulai mendapatkan kepercayaan diri lagi (setelah sempat tidak pede semalam sebelumnya). Saya bisa membaur dan berkenalan dengan beberapa teman se-College. Sayangnya sekarang sangat susah ketemu dengan mereka lagi.
Pulang dari matrikulasi, saya kemudian lanjut ke pertemuan PPI Oxford. Di sana saya berkenalan dengan teman-teman dari Indonesia dan beberapa teman bule yang tertarik belajar tentang Indonesia. Di sana saya juga pertama kali bertemu Mas Edo, senior di College saya. Pulang dari pertemuan PPI Oxford, saya pulang jalan kaki dengan Mas Edo (~30-40 menit). Ternyata Mas Edo orangnya sangat enak diajak ngobrol dan ke depannya saya jadi senang main ke kamar Mas Edo ?
Hari ketiga saya dapat dibilang tidak ada sesuatu. Saya cuma jalan-jalan di kota Oxford dan ngobrol sedikit dengan teman flat saya.
Minggu pertama kuliah
Saatnya membuktikan apakah kecemasan saya akan benar terjadi atau tidak di minggu pertama kuliah. Kuliah pertama yang saya ikuti adalah statistik dan untungnya saya masih bisa mengikuti kuliah tersebut. Selanjutnya saya masuk ke kelas Advanced Quantum Mechanics (AQM) dan Introduction to Symmetries (IS). Di sana saya tidak mengerti apa-apa. Saat saya mulai khawatir kalau term ini akan berat, salah satu teman saya bilang kalau kuliah tersebut tidak wajib untuk kami berdua (saya dan teman saya itu). Fiuh.
Di minggu pertama juga saya ketemu dengan supervisors saya (notice the ending ‘s’). Ya, saya punya 3 supervisors. Proyek yang akan saya kerjakan adalah proyek yang cukup multidisiplin (di bidang Fisika), jadi supervisor utama saya meminta 2 supervisor lainnya untuk membimbing saya sesuai keahliannya masing-masing. Saat meeting pertama dengan 3 supervisor saya, saya diberi tahu buku yang bagus dan langsung diberi tugas untuk mengerjakan semua soal (tanpa kecuali) yang ada di buku itu dalam 8 minggu ini. Satu minggu satu chapter. Wow!
Minggu pertama kuliah adalah minggu yang sangat berat bagi saya. Delapan dari 9 teman kuliah saya S1-nya di Inggris. Cuma saya dan satu teman saya dari China yang dari luar UK. Hasilnya, kami berdua sulit untuk mengikuti obrolan mereka. Faktor utama bagi saya adalah faktor bahasa. Kalau ada yang menanyai saya, saya masih bisa mengerti apa yang mereka katakan. Tapi kalau mereka sudah bicara sesama yang dari Inggris, sangat sulit untuk mengerti dan masuk ke pembicaraan mereka. Setiap hari saya selalu cemas masalah bahasa ini, dan akhirnya membawa saya selalu mendengarkan BBC untuk latihan listening British English.
Minggu kedua dan seterusnya
Saya baru masuk ke kantor saya di minggu kedua, padahal kunci kantornya sudah dikasi sejak hari pertama kuliah. Saya agak takut masalah komunikasi dengan teman sekantor, sampai akhirnya saya memberanikan diri untuk masuk ke kantor. Saat masuk pertama kali, saya merasa beruntung. Teman sekantor saya adalah orang Jerman, namanya Heinrich. Bahasa Inggrisnya mudah dimengerti dan sangat friendly. Dia banyak bercerita tentang apa yang akan kami hadapi, tentang kehidupan di Oxford, dan lain-lain. Dia juga selalu bilang “I hope you enjoy yourself in physics” dan kalau saya terlihat capek, dia biasa bertingkah aneh, mungkin untuk relaxing kali ya. :’)
Ada satu lagi teman sekantor saya, Andy, tapi saya belum tahu dia dari mana. Kalau dari cara bicaranya, sepertinya dia orang British. Satu hal yang mengejutkan adalah saat dia cukur jenggot dan kumisnya, tidak seorang pun yang kenal dia. Bahkan supervisornya sangat terkejut waktu pertama kali lihat dia habis cukur. Katanya sudah 4 tahun dia tidak pernah cukur jenggot dan kumisnya. Wow!
Kehidupan sosial saya awalnya sangat sedikit. Saya sering ikut makan siang bareng teman-teman kelas, tapi sangat jarang masuk dalam percakapan mereka (lagi-lagi masalah bahasa, sampai sekarang). Biasanya saya ngobrol dengan teman kelas hanya kalau ada problem set (PS), karena saya bisa ikut nimbrung kalau kami lagi bahas PS bareng. Entah kenapa bahasa Inggris yang berhubungan ke fisika jadi lebih mudah saya mengerti dibandingkan bahasa Inggris sehari-hari. Saya juga jarang ngobrol dengan teman kantor karena pada sibuk dengan kerjaan masing-masing dan keduanya sering kerja di luar kantor (bahkan di luar kota). Teman ngobrol saya sehari-hari ya orang-orang yang di Musholla Oxford, orang Indonesia, atau teman dari luar kantor yang biasanya kerja overtime juga sampai malam. Teman saya juga bilang, kehidupan sosial mahasiswa DPhil (PhD) memang lebih sedikit dibandingkan mahasiswa undergrad dan master.
Sedikitnya kehidupan sosial membuat saya jadi aktif cari kegiatan di luar. Di PPI Oxford, saya bersedia membantu Mbak Fara (<- orang hebat nih) di komite akademik. Saya juga terlibat di OXIS (Oxford Indonesian Society). Dan saya juga bergabung dengan Project South East Asian untuk bikin symposium bulan Maret 2014 nanti.
Biarpun banyak bergabung di kegiatan ekstrakurikuler, kegiatan tersebut cuma bisa dijalankan pas weekend. Jadi saya tetap harus bisa membuat kehidupan sosial saya pas weekdays meningkat. Target saya di bulan kedua ini, saya harus bisa mengerti dan gabung di pembicaraan dengan teman-teman kelas saya! Doakan ya! 🙂
Oleh : Muhammad Firmansyah Kasim